Jika
setiap puisi harus dramatis, jika setiap syair lagu harus romantis dan jika
setiap drama harus melankolis apalah dayaku yang hanya begini.... selalu
terserah adanya.
Sore
hari di bulan April, tahun ini tahun kedua aku dituntut untuk jatuh cinta pada
kuliahku, dan segalanya. Hari ini hujan,
hujan lagi... lagi-lagi hujan, hujan tak pernah lelah untuk datang. Namun jika
hujan akan datang dia selalu memberi rambu, dan jika hujan akan pergi dia pergi
meninggalkan pelangi, kenangan indah yang tak hanya delusi. Tidak seperti kamu,
iya.. kamu...
“Bukankah dunia
ini fana? Haha” lucu sekali rasanya aku bicara sendiri kemudian tertawa. Tak
lama aku menengadahkan kepala keatas langit, membiarkan hujan membasahi wajah
ini,bahagia rasanya begini karna jika aku menangis tak akan ada yang tau.
“Kuliah sore pas ujan gini bikin males
sekali huh!” gerutuku pelan “Tugas-kuliah-tugas-kuliah-tugas-UTS-UAS, gitu aja
terus rasanya. Membosankan!”gerutuku lagi.
“Ngapain lu
disini? Ujan-ujanan lagi, yuk masuk kelas jangan ujan-ujanan gini. Entar kalo
lu sakit siapa yang gue sakitin nantinya?” tiba-tiba datang seorang lelaki yang
penampakannya sudah tak asing lagi, lelaki hujan yang hanya datang dan pergi
sesuka hati, sifatnya yang tengil dan
pecicilan membuat hati dengki setengah
mati, tak pernah menyenangkan jika terlalu lama melihatnya. Entah mengapa.
“Duluan aja, gue masih betah diem disini” timpalku malas padanya.
Di pinggir
danau, sore hari, ditemani gemericik hujan diantara orang-orang yang berlalu
lalang, berlarian menghindari hujan. Sedangkan aku, tetap diam ingin ditemani
hujan. Tiba-tiba lelaki itu duduk di sampingku tepat disampingku, membuat aku
berpikiran picik padanya.
“Dingin tau disini lama-lama”
bisik lelaki itu padaku
“Ya terus ngapain lu masih
disini?” jawabku sinis
“Gue kan pengen nemenin lu”
timpal lelaki itu lagi
“Gue gak pernah minta ditemenin” tungkasku
“Gue gak pernah minta ditemenin” tungkasku
“Gue yang mau kok, apasih yang
engga buat lu”
Tak ada kalimat
ataupun kata-kata lagi yang terucap dari mulutku begitu pun dengan lelaki itu. Aku
terdiam, membisu, membiarkan angin berbisik disela-sela riuhnya gemericik
hujan. Dan akhirnya aku memutuskan untuk tetap disini dan tak mengikuti kuliah
berikutnya, hingga akhirnya aku tersadar..
“Elo? Ngapain masih disini? Gak ikut
kelas?” ucapku kaget
“Bolos gue, ikutan elu. Haha” Jawabnya
santai
“Boleh gue nanya sesuatu, Dir?”
Tiba-tiba lelaki itu bertanya lirih
“Apa?” ucapku singkat
Namun tak ada
jawaban untuk beberapa saat, hingga hujan pun reda dan datanglah pelangi. Tak terasa
senjapun mulai menyambanggi, terlihat langit mulai jingga dan air danaupun
mengikuti. Matahari akan terbenam yang artinya langit akan segera menghitam. Saat
aku bersiap untuk pergi tanpa menunggu lagi pertanyaan apa yang akan lelaki itu
lontarkan padaku, tiba-tiba dia menggenggam lenganku.
“Sebenernya apa yang salah sih?”
tanyanya masih dengan nada lirih
“Hah? Apa?” aku balik bertanya
heran
“Kita! Aku! Kamu! Kita!”
jawabnya sedikit membentak
“Ada apa emang sama kita?”
lagaku pura-pura tak mengerti
“Kenapa lo
berubah? Kenapa kita jadi beda? Kita jadi renggang, kita ini sahabatan kan? Iya
kan? Terus kenapa lo tiba-tiba pergi? Tiba-tiba ngejauhin gue? Tiba-tiba hilang
dari peradaban? Seperti lenyap ditelan bumi. Kenapa? Ada apa sebenernya? Apa gue
ada salah? Kalo iya tolong cerita, bilang, karena gue bukan paranormal yang
bisa tau isi hati lo gitu aja tanpa lo bilang, dengan lo giniin gue, dengan
sikap lo yang makin hari makin cuek dan belaga gak peduli, dengan gaya lo yang
terkesan acuh atau mungkin terkesan males bahkan sampe pura-pura gak kenal sama
gue. Semua itu justru bikin gue bingung, serba salah dan gak tau harus gimana. Mending
lo ngomel deh daripada diem gini, gue takut kehilangan lo Dir. Takut banget”
jelasnya
“Gue gak mau
ganggu hidup lo lagi. Udah cukup. Gue muak. Sorry gue duluan”
Akhirnya aku pergi, begitu saja. Seperti
dia dulu padaku, memberi luka bahkan menabur garam diatasnya. Perih! Tapi itu
semua tak lebih keji dari tingkahnya padaku. Ya! Pada perempuan bodoh yang
hanya dianggapnya sahabat, yang hanya dia datangi ketika dia merasa resah
bahkan gelisah. Dan bodohnya aku selalu membukakan pintu lebar-lebar padanya,
ya.. dia lelaki hujan penabur garam, pembuat onar, kekasih orang, mantan orang tersayang.
Aku berjalan menuju mobilku, hingga
akhirnya membawanya melaju entah akan kemana tempat yang aku tuju dalam bisu. Aku
putuskan untuk pergi ke sebuah tempat perbelanjaan, sebenarnya aku hanya
membutuhkan tempat parkirnya saja, tempat yangtenang dan aman, sunyi tanpa
jangkauan, setidaknya bisa membuatku tenang untuk beberapa saat.
Kubuka laci mobilku, disana
tersimpan banyak foto-foto kenngan aku dengan lelaki tadi, kulihat satu persatu
dengan teliti, kucermati hingga air mata ini tak terhenti
“Andai lo tau
Za, gue sayang sama lo bukan Cuma sebatas temen atau sahabat tapi lebih, iya
gue tau gue gak tau diri minta lebih, tapi gue gini karna lo yang udah ngasih
duluan. Gue pergi bukan berarti gue udah gak peduli lagi sama lo, tapi karna
gue udah bosen nunggu lo yang gak pernah peduli sama perasaan ini walaupun gue
tau lo pasti udah tau. Za dulu kita emang sedekat nadi, seindah lembayung senja
di sore hari, kaya hujan sama pelangi sore tadi, kaya mati lampu sama lilin,
tapi sekarang buat liat lo juga gue gak sudi bukan karna gue benci tapi gue
takut luka itu kebuka kembali, takut perasaan ini gak bisa berhenti, karna gue
cukup tau diri. Jadi lebih baik kita gini. Pura-pura gak kenal karna semuanya
emang Cuma kenangan yang gak patut dikenal. Jarak kita sekarang udah kaya bumi
sama matahari. Semua ini Cuma rindu, rindu pada cinta, cinta tuan yang tak akan
terbalaskan. Terima kasih untuk semua rasa pahit ini, hingga membuatku terus
memakai topeng tebal ini. Karna walaupun raga lo ada sama gue, tapi jiwa dan
hati lo seutuhnyabuat dia” isakku
Akhirnya aku pergi dan benar-benar
pergi tanpa membiarkan seorangpun yang tahu perasaanku ini. Pergi tanpa
kenangan dengannya lagi...
sitiiiiiiii kerennnnnn............
BalasHapusAsa-asa ceritanya wkwk. Good!
BalasHapus