Langsung ke konten utama

Berhentilah, selagi bisa...


Tolong beri aku jarak, barang sejengkal dua jengkal.

Tolong berhentilah mendekat, walau hanya selangkah dua langkah.

Berapa kali harus kuucap,

BERHENTI!!!

JAGA JARAKMU!!!

MENJAUH!!!

ENYAHLAH AKU MOHON!!!

Setiap aku hirup udara kebebasan dan tak sengaja ujung mata ini melirik kepojok kanan jendela, ada pantulan cahaya disana. Arahnya tepat membentang searah jarum jam menunjukkan pukul 4.
Seketika rasanya dada ini terasa sesak,
“Gempa bumi rasanya jantung gue”
Ku pejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam, kian lama nafas ini kian tersendat, emosi mulai sulit kuatur, rasanya sesak, sangat sesak, melebihi seseorang yang sakit asma terkena serangan jantung.

Kucoba untuk mengatur nafas, kucoba untuk menata perasaan ini...
“Bisa mati muda gue kalo gini terus” hela nafasku mengiringi isi hatiku.
Karena hidup harus seperti segmen yang tahu dimana ia harus memulai dan berhenti, bukan seperti vektor yang tak hingga terus melaju tanpa tahu diamana ia akan berhenti.

Karena perasaan ini harus mengikuti teorema yang ada, yang sudah ditetapkan dan seharusnya diterapkan, bukan mengatur dan membuat teorema baru tanpa tahu definisi dan alasan yang pasti.
Karena hidup itu harus selaras, berjalan sesuai norma dan etika yang sudah ada, sesuai dengan aturan dan komitmen yang sudah di tetapkan untuk dilaksanakan bukan untuk dilanggar.

Dan karena semua itulah aku yakin kita memang bukan suatu fungsi yang berpadanan, maka berhentilah, aku mohon, selagi kita bisa, selagi aku bisa... bisa mengatur luapan rasa yang tak seharusnya ada.

Jika aku memandang langit biru bersih itu aku teringat ucapanmu,
“Lihat! Jauh disana ada Dewa Zeus yang lagi diskusi sama Dewi Afrodit”

“Dimana? Diskusi apaan? Mana adaa, ngarang lo!”

“Eh seriusan gue, mereka bilang. ‘Jangan biarkan mereka memandangi langitku terlalu lama dalam kesendiriannya Afrodit. Persatukan mereka oleh benang merah yang mengikat hatinya, agar mereka bisa memandangi Langitku bersama-sama | Mengapa hati mereka yang harus aku ikat Dewa Zeus, mengapa tidak tubuhnya? | Karena jika Dewi Cinta sepertimu membiarkan hati mereka terpisah walau raganya dipersatukan, rasanya itu sia-sia. Aku tidak mau mereka memandang kearahku tidak dengan hati yang saling berpautan satu sama lain’. dan akhirnya Afrodit pun nurut sama Zeus. Paham?”

“Mereka? Mereka siapa? Gue gak ngerti ._.”

“Kita, lo sama gue”
Dan mungkin saat itulah kau membuat jantung ini berhenti berdebar, seolah semuanya buyar.
Aku kira itu betul-betul nyata tapi ternyata fana.

Maaf jika sebenarnya aku jatuh hati pada lelaki yang tak punya hati.
Kulepas bayang-bayang imaji itu, sedikit teringat tentang masa lalu, masa lalu yang pernah ada kita antara aku dan kamu.

Kutatap jendela itu kembali, kini kumiringkan kepalaku 45derajat ke kiri, mengikuti arah mata angin sedikit melawan arah jarum jam.

Disana ada lelaki lain yang sedang menatapku, rasanya dosa besar teriak nuraniku. Dia tersenyum dengan lugu, menyambut dan bertanya kapankah aku akan lari bersamanya bukan lari sendirian bak mengejar dewa-dewa kayangan yang tak pernah datang.

Jauh disana ada permpuan lain...

Perempuan yang selalu menunggunya, memberi segalanya yang ia mau, tersenyum ceria tak tahu apa-apa akan dosa yang kita perbuat.

Cinta yang pernah datang tanpa menyatakan
Rasa yang pernah singgah walau tahu itu bukan tuan rumah
Hati yang kini sakit karna memendam rasa satu sama lain
Rasa yang memang sebaiknya tak perlu diungkapkan sampai kapanpun,

Jadi...

Pergilah....

Biarkan perasaan ini berhenti selagi bisa...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuda Balap dan Kuda Kerajaan

Hari ini adalah hari besar dimana sedang ada acara besar berlangsung di sebuah kerajaan. “Balap Kuda”   ya lomba balap kuda, namun aku tidak bisa mengikutinya, kenapa? Karena aku bukanlah kuda balap, karena aku tidak seprti mereka. Aku hanya seekor kuda kerajaan yang selalu ikut kemana tuanku melangkah, kemana tuanku mengajakku, menunggangiku. Namun mereka mencibirku, ya mereka, para kuda di area balap itu. “Apa yang kau bisa hah? Hanya berdiam dan menonton kami saja? Hahahaha lihatlah tubuhmu, kau mempunyai tubuh berwarna putih dan rambut yang panjang, sepertinya kau tak layak dibilang seorang pejantan” cibir seekor kuda hitam tegap yang melewat di pinggirku, dia sedang bersiap-siapuntuk mengikuti perlombaan. ‘Apa benar aku tidak layak dikatakan seorang pejantan? Kenapa? Apa sehina itukah aku?’ tanyaku dalam diam, aku hanya menyimak alur perlombaan tersebut aku berdiri di pinggir tuanku, sang pangeran kerajaan. Pangeran menatapku dan mengelus pundakku “Aku beruntung memiliki...

Dreams? Why not?

Pengen banget, banget, banget bisa mainin benda-benda ini. Klasik sih emang tapi eksotik. Ga semua orang bisa, dan ga semua orang punya kesempatan buat bisa. Ini tuh keren se keren apapun, rasanya emang identik sama hal yang romantis tapi bukan hanya itu, benda-benda ini juga punya daya seni yang mengagumkan seakan punya daya magis yang bisa bikin orang nangis (pribadi). Selain itu juga punya unsur kelembutan dan keanggunan tersendiri, sungguh tampan dan menawan. WOW deh pokoknya, punya mimpi ga apa-apa kan? kenapa engga? ini dia benda-benda tersebut.  

Kesempatan

Aku bosan, dengan kamu, dengan kita.. Tapi kenapa? Kamu tau kenapa ada manusia yang bisa sampai ke bulan? Padahal jika dipikirkan saja itu adalah sesuatu yang mustahil? Ya karena mereka tidak hanya berpikir, tapi mereka bertindak, mereka berusaha agar apa yang mereka mau bisa tercapai Kamu tau kenapa ilmuwan tidak takut mati hanya untuk sebuah penelitian ilmu pengetahuan? Padahal jika mereka gagal semuanya akan sia-sia hanya buang waktu saja? Ya karena mereka ingin membuktikan pada dunia bahwa semua hukum-hukum atau apapun yang mereka katakana itu bukan hanya bualan semata namun memang nyata. Lagipula tidak ada yang sia-sia di dunia ini bukan? Begitu juga kamu. Kita! Apa hubungannya? Aku ingin jadi astronot yang dapat pergi ke bulan, tapi apakah bisa jika tanpa ada bantuan mereka yang mengoperasikan roketnya? Ya tentu tidak! Aku ingin membuktikan hukum-hukum fisika, tapi apa bisa jika tidak ada yang percaya seolah menyuruh menyerah seakan s...